Rabu, 30 Mei 2012
Kebahagiaan Itu Sederhana
Kebahagiaan adalah hal yang mutlak diinginkan setiap orang. Salah satu cita-cita hidup manusia adalah meraih kebahagiaan. Kebahagiaan itu tidak bisa dinilai dengan kekayaan atau harta, jabatan atau kedudukan, kesuksesan atau hal apapun yang konkret, tapi bagiku kebahgiaan itu tidak nampak, hanya hati yang dapat merasakannya. Kebahagiaan itu sederhana, sesederhana melihat anak kecil bermain, sesederhana mencuci piring di rumah untuk membantu Ibu, sesederhana melihat orang yang tersenyum saat mendapat hal yang membahagiakan baginya . . . .membahgiakan orang lain lebih indah dari pada membahagiakan diri sendiri. Bagiku, orang yang miskin belum berarti tidak pernah merasakan kebahgiaan, orang kaya pasti merasakan kebahgiaan, kebahagiaan tidak menilai status seseorang , semua berhak merasakan kebagiaan, selama dia mau berusaha mencari kebahagiaan itu. . .Kebahagiaan itu tidak susah dicari bagiku, kebahagiaan ada dimana-mana, , , , , ,
Tersenyumlah walau sedang dihadapkan pada keadaan yang sulit.......
Berfikirlah positif terhadap sesuatu masalah .......
Yakinlah itu yang terbaik ....
Bersabarlah, karena semua kan indah pada waktunya......
Ingat selalu kebahagiaan itu sederhana, dan ada di dalam diri dan hati kita ............tidak usah mencari kebahagiaan dengan uang banyak ,,,, karena uang tidak bisa membeli kebahagian ........................
Minggu, 27 Mei 2012
Tak Ada Gagasan Baru lambada UU Pemilu
Anggota DPR melakukan lobi-lobi politik di sela-sela rapat paripurna rapat paripurna dengan agenda pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (11/4/2012).
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR tidak memperlihatkan gagasan baru. Beberapa pasal bahkan relatif sama dengan UU sebelumnya.
"UU Pemilu yang baru tidak terlalu jauh berbeda dengan UU sebelumnya," kata Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang, Kamis (12/4/2012) di Jakarta.
Menurut Sebastian, UU Pemilu yang baru tidak memperlihatkan gagasan-gagasan baru dan jawaban atas soal-soal selama ini. Misalnya, soal dana kampanye atau kampanye yang efektif. Semestinya. kata dia, perlu diatur juga desain penguatan sistem presidensial, serta bagaimana rekrutmen calon legislatif yang baik, dan hubungan dengan rakyat.
"Dengan UU Pemilu baru saat ini, maka Pemilu 2014 nanti akan tak jauh berbeda dengan Pemilu 2009,"
katanya.
katanya.
Untuk sistem pemilu 2014, DPR sepakat tetap menggunakan sistem proporsional terbuka, sama seperti sistem pada Pemilu 2009.
Sementara itu, terkait alokasi kursi, fraksi-fraksi DPR menyepakati alokasi kursi DPR sebanyak 3-10 kursi per dapil dan DPRD 3-12 kursi per dapil.
Sedangkan metode penghitungan atau konversi suara menjadi kursi yang diputuskan melalui voting, DPR sepakat menggunakan kuota murni atau hare quote.
"Saya khawatir ke depan, sistem kita semakin liberal, kemudian tujuan pemilu untuk menciptakan pemerintahan efektif berbasis multi-partai sederhana tak bisa tercapai. Tujuan untuk membangun sistem murah dan sederhana juga tak tercapai, dan kita dihadapkan dengan pemilu berbiaya tinggi," kata Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Arif Wibowo di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (12/4) malam.
Arif menyebut, harapan publik untuk melihat wajah parlemen dan pemerintah yang lebih baik tak mungkin. "Wajah parlemen dan pemerintah yang buruk menjadi tak akan mengalami perbaikan yang berarti. Padahal, pemilu adalah sistem strategis untuk menghasilkan pejabat publik yang baik," terangnya.
Politisi PDI Perjuangan tersebut menegaskan sistem pemilu proporsional dan terbuka justru membunuh kaderisasi partai. Sebab fungsi kaderisasi untuk menciptakan kader berkualitas, tak akan berguna.
"Sistem pemilu profesional dan terbuka berdasarkan suara terbanyak itu memungkinkan yang berduit dan populer yang menang. Artinya mereka yang menang adalah yang dapat dukungan, meski dukungan manipulatif. Kompetisi akan ketat, mau tak mau basisnya adalah kekuatan kapital," jelasnya.
Kondisi tersebut, lanjut Arif, membahayakan. Karena sistem seperti itu tidak akomodatif untuk menghasilakan pejabat yang sederhana, baik, dan jujur. "Karenanya kaderisasi mandul, tak ada gunanya partai membuat kaderisasi," pungkasnya.
DPR akhirnya mengesahkan RUU Pemilu menjadi UU Pemilu melalui sistem voting. DPR memutuskan menggunakan metode penghitungan suara kuota murni berdasarkan hasil perolehan suara sebanyak 342 suara yang dipilih tujuh fraksi kecuali Golkar dan PDIP.
Kemudian, voting dilanjutkan untuk membahas pasal 208 dan 209 terkait PT nasional atau berjenjang. Dari hasil voting, diputuskan Parlementary Treshold (PT) sebesar 3,5 persen nasional dengan perolehan suara 343.
Sebelumnya, empat masalah dalam RUU Pemilu sempat membuat sejumlah fraksi berbeda pendapat. Keempat masalah tersebut akhirnya dicarikan jalan tengah untuk dapat diputuskan. Yakni, PT menjadi 3,5 persen, sistem pemilu terbuka, alokasi kursi tiga per 10 per dapil untuk DPR dan tiga per 12 per dapil untuk DPRD, serta sistem penghitungan suara kuota murni.(Rory/Wtr2)
Arif menyebut, harapan publik untuk melihat wajah parlemen dan pemerintah yang lebih baik tak mungkin. "Wajah parlemen dan pemerintah yang buruk menjadi tak akan mengalami perbaikan yang berarti. Padahal, pemilu adalah sistem strategis untuk menghasilkan pejabat publik yang baik," terangnya.
Politisi PDI Perjuangan tersebut menegaskan sistem pemilu proporsional dan terbuka justru membunuh kaderisasi partai. Sebab fungsi kaderisasi untuk menciptakan kader berkualitas, tak akan berguna.
"Sistem pemilu profesional dan terbuka berdasarkan suara terbanyak itu memungkinkan yang berduit dan populer yang menang. Artinya mereka yang menang adalah yang dapat dukungan, meski dukungan manipulatif. Kompetisi akan ketat, mau tak mau basisnya adalah kekuatan kapital," jelasnya.
Kondisi tersebut, lanjut Arif, membahayakan. Karena sistem seperti itu tidak akomodatif untuk menghasilakan pejabat yang sederhana, baik, dan jujur. "Karenanya kaderisasi mandul, tak ada gunanya partai membuat kaderisasi," pungkasnya.
DPR akhirnya mengesahkan RUU Pemilu menjadi UU Pemilu melalui sistem voting. DPR memutuskan menggunakan metode penghitungan suara kuota murni berdasarkan hasil perolehan suara sebanyak 342 suara yang dipilih tujuh fraksi kecuali Golkar dan PDIP.
Kemudian, voting dilanjutkan untuk membahas pasal 208 dan 209 terkait PT nasional atau berjenjang. Dari hasil voting, diputuskan Parlementary Treshold (PT) sebesar 3,5 persen nasional dengan perolehan suara 343.
Sebelumnya, empat masalah dalam RUU Pemilu sempat membuat sejumlah fraksi berbeda pendapat. Keempat masalah tersebut akhirnya dicarikan jalan tengah untuk dapat diputuskan. Yakni, PT menjadi 3,5 persen, sistem pemilu terbuka, alokasi kursi tiga per 10 per dapil untuk DPR dan tiga per 12 per dapil untuk DPRD, serta sistem penghitungan suara kuota murni.(Rory/Wtr2)
Meskipun Undang-Undang Pemilu telah disahkan , namun menurutnya UU Pemilu baru itu juga tidak serius mencegah atau mengurangi praktik politik uang dengan sanksi ketat. Tak ada pula ketentuan memadai untuk mengatasi pelanggaran-pelanggaran pemilu, melayani para korban pelaksanaan pemilu, baik masyarakat maupun para peserta sendiri.
sumber : kompas.com
Langganan:
Postingan (Atom)